Sunday, June 7, 2020

Obrolan Mbak Bonita, Anyi, dan Mas Ibut soal "Peduli Musik Anak"



Senang banget hari ini bisa mendengarkan dialognya @singingbonita, Karina Adistiana, dan Mas Ibut soal "Peduli Musik Anak". Bagus banget (ada rekamannya di IG Mbak @singingbonita , silakan dilihat yah ).

Anyi dan Mas Ibut adalah sepasang suami istri yang mencoba melakukan proses pendidikan melalui media musik anak.

Mereka berkeliling ke berbagai daerah Indonesia untuk mengajak anak, remaja, guru, orang tua membuat musik anak sebagai sarana pendidikan. Pendidikan untuk siapa? Anak, remaja, guru, maupun orang tua.

Salah satu kisah mereka terjadi di Maluku. Di sana, mereka mengajak para remaja ngobrolin makna perdamaian. Maluku sendiri pernah menjadi daerah konflik, maka penting untuk mendengarkan suara anak maupun remaja dan di sana. Bagi mereka, perdamaian itu seperti apa?

Hasil dialognya dibuatkan lagu. Tadi Anyi dan Mas Ibut menyanyikan lagu yang dibuat remaja-remaja tersebut. Mbak Bonita menangis mendengarnya. Saya juga.

Anyi juga sempat bercerita tentang fenomena di beberapa TK yang dikunjunginya. Ketika anak pentas, gurunya berdiri saja di bawah panggung mengamati. Kenapa tidak berdendang dan menari?

Maka dibuatlah lagu untuk mendidik orang dewasa untuk ikut berdendang dan menari bersama anak.

Ketika membuat musik untuk pendidikan bencana, Anyi dan Mas Ibut belajar dulu tentang kearifan lokal dan jenis musik yang pas untuk daerah terkait. Tujuannya agar lagunya lebih mengena.

"Musik merupakan bahasa yang universal, dan sudah powerful dari sananya. Kita tinggal memikirkan bagaimana liriknya bisa diadakan media untuk belajar," kata Anyi.

Mas Ibut juga sempat bercerita, "ada masanya guru-guru suka ngumpul dan membuat musik anak bersama. Kini, kita tergantung pada industri. Mendengarkan musik anak yang telah disediakan oleh industri."

Ada keinginan dari Peduli Musik Anak untuk kembali mengingat budaya-budaya itu. Musik diciptakan bersama-sama secara komunal  dengan komunitas untuk kepentingan komunitas.

"Apa yang kita lakukan sebenarnya, gagasannya kami pelajari dari Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar juga sangat mementingkan musik dalam proses pendidikannya termasuk menggunakan musik-musik dolanan," kata Anyi dan Mas Ibut (lupa persisnya kata-kata).

Diskusi sore ini diselingi beberapa lagu anak yang dihasilkan "Peduli Musik Anak". Dalam hati saya berjanji sebisa saya akan mendukung gerakan ini. Bikin posting ini merupakan salah satu caranya.

Friday, May 1, 2020

Sekilas Tentang INS Kayutanam



Selain Taman Siswa, ada sebuah sekolah nasional yang juga cukup fenomenal di zaman sebelum kemerdekaan yakni Indonesich-Nederlandsche Schule (INS) Kayu Tanam, di Padang Pariaman Sumatra Barat. Sekolah ini didirikan oleh Engku Mohammad Sjafei pada tahun 1926.

Pada masa anak-anak, Sjafei merupakan seorang yatim yang miskin sehingga harus berjualan makanan di sebuah sekolah. Saat sempat, Sjafei sering mengintip ruang kelas untuk ikut belajar. Hal ini diamati oleh Mara Sutan, seorang lulusan sekolah guru, Kweekschool Bukittinggi. Mara Sutan pun mengangkat Sjafei menjadi anaknya dan menyekolahkannya, termasuk ke Kweekschool Bukittinggi.

Saat pensiun, Mara Sutan menghabiskan hidupnya di Batavia. Di rumahnya di Batavia, Mara Sutan banyak mengundang anak-anak untuk belajar menggambar, bermusik, serta berbagai keterampilan lainnya seperti membuat kecap, sabun, bertukang, memasak, berkesenian, dan fotografi . Banyak tamu yang senantiasa berkunjung ke Mara Sutan, termasuk Ki Hadjar Dewantara. Di Batavia, Sjafei mengajar di Kartini School dan juga Taman Siswa (Zed, 2012).


Pada tahun 1910 - 1920 Sjafei melanjutkan studi ke Belanda. Selama di sana, 'Sjafei memperdalam memperdalam ilmu musik, menggambar, pekerjaan tangan, sandiwara, dan pendidikan dan keguruan' (Kaimuddin, 2015). Secara khusu, Sjafei juga mempelajari Gerakan Pendidikan Baru (Landerziehungsheim) yang sedang berkembang di Belanda. Sjafei tampak sepakat dengan beberapa pemikir diantaranya John Dewey dan George Kerschensteiner.  Dewey, berpandangan bahwa sangat penting untuk berpikir ilmiah dan rasional. Sedangkan, Kerschensteiner memandang pentingnya pendidikan dengan kerja (beraktivitas) (Nishimura, 1995).

Pengalaman-pengalaman belajar Sjafei di atas tampaknya menginspirasi Sjafei dalam mendirikan INS Kayutanam. Ia bercita-cita mendirikan sekolah sendiri yang berbeda dari sistem pendidikan kolonial.

Ins Kayu Tanam merupakan sebuah sekolah di Padang Pariaman. Pembangunannya dilakukan secara gotong royong. Baik guru maupun siswa mendirikan sekolah , bangku, dan kursi dengan tangannya sendiri (Nishimura, 1995). Sjafei menyebut INS Kayutanam sebagai "ruang pendidikan" di mana "Alam takambang menjadi Guru" yang bermakna "Alam Semesta menjadi guru". 

Bagi Sjafei, pendidikan bukanlah sekadar bertujuan untuk mempersiapkan siswanya untuk terampil menjadi pegawai (pemerintahan kolonial Belanda), tetapi agar 'siswa mendidik anak-anak agar dapat mandiri atas usaha sendiri dengan jiwa yang merdeka' (Komarudin & Sukardjo, 2012). 

Sjafei juga berpandangan bahwa pendidikan untuk mencerdaskan pikiran (intelektual) juga perlu terintegrasi dengan pendidikan moral. Pendidikan merupakan cara untuk mengasah otak, hati, dan tangan. Seperti diuraikan oleh Zed (2012):
"Hati untuk merasa, berempati dan berimajinasi; otak untuk menukik membuat perhitungan rasional dan logis, tangan adalah medium untuk menyalurkan energi otak dan hati manusia secara konkret dalam berinteraksi dengan alam." 
Kata Sjafei (1926 dalam Zed, 2012)
“ .... Dalam sekolah mereka (siswa) diajar mengasah otak, dalam asrama mengasah budi, tenaga dan bakat. Dengan cara begini kita barulah kita dapat mencapai kemajuan bagi bangsa yang mampu mengurus bumi dan tanah air.” (Sjafei, 1926)
Siswa dalam sekolah INS Kayutanam dipandangs sebagai manusia yang unik. Menurut Sjafei:
"Jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis"
Sjafei berharap bahwa lulusan dari INS Kayutanam senantiasa menjadi manusia yang mandiri, percaya diri, menjadi diri sendiri, serta tidak bergantung pada orang lain. Baginya, manusia yang seperti inilah yang dibutuhkan oleh bangsa yang kini bernama Indonesia. 

  1. Zed, M. (2012). Engku Mohammad Sjafe’i dan INS Kayutanam: Jejak Pemikiran Pendidikannya. Tingkap, 8(2), 173-188.
  2. Nishimura, S. (1995). The development of Pancasila moral education in Indonesia. Japanese Journal of Southeast Asian Studies, 33(3), 303-316.
  3. Kaimuddin, K. (2015). BOARDING SCHOOL: MODEL PENDIDIKAN TRANSFORMATIF. SOCIETY, 6(2), 11-21.
  4. Komarudin, U., & Sukardjo, M. (2012). Landasan Pendidikan konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers
  5. Rahatja, S. (2008). Penyelenggaraan Pendidikan lndonesia Nederlandche School (INS) Kayu Tanam dalam Perspektif Pendidikan Humanis-Religius. Jurnal Manajemen Pendidikan, 1(4), 9-19.